Wayang Purwo
Pondasi Peradaban Milenium
WAYANG PURWO warisan Wali Songo adalah “tontonan dan tuntunan” adhiluhung yang compatible dengan semua agama, tampil sebagai seni budaya, dan sarat dengan muatan aneka ilmu pengetahuan. Medium pendidikan massa ini dikemas sebagai total arts, yang kehadirannya mewakili pagelaran seni ma’rifat atau meditative arts model audio-visual communication systems terpadu. Kini telah melampaui batas wilayah Nusantara, kemudian diakui menjadi milik dunia, yaitu sejak diproklamirkan oleh Unesco (PBB) sebagai “A Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity” pada tanggal 7 November 2003 di Paris, Perancis.
Menyongsong era globalisasi segenap umat manusia seyogyanya menyadari adanya kesinambungan dan keterpaduan antar agama-agama yang beragam itu. Selanjutnya memahami adanya hubungan integralistic antara spiritualisme dan agama dengan seni-budaya dan sains-teknologi. Ini akan bermanfaat sebagai modal pembangunan Peradaban Milenium yang damai dan sejahtera. Dan kenyataan menunjukkan bahwasanya kekuatan suatu ma-syarakat atau bangsa ditopang oleh tiga pilar utama – agama, budaya dan karya (iptek). Paduan ini kemudian dirangkum dan ditampilkan oleh para Wali Songo melalui arsitektur mesjid, upacara Sekaten (peringatan Maulid Nabi SAW), dan pagelaran spektakuler Wayang Purwo. Keseluruhannya telah menggambarkan pagelaran ’Puncak Tasawuf’ atau Zenith Sufism, yang sekaligus mewakili model Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Padanya terdapat pelajaran sistematika prinsip membangun konsep melalui holistic approach, dan menerapkan aplikasinya melalui integrated efforts atau networkings.
ENS EST BONUM, PULCHRUM, VERUM – Dia itu baik, bagus, benar. Manusia berperan selaku Khalifatullah di bumi lalu dinilai dari ethica, aesthetica, dan logica yang dimilikinya. Ini dilambangkan melalui dalang beserta seperangkat pakaiannya, ditambah sebilah keris tersarung yang disandang di belakang punggungnya. Dengan demikian wayang layak mendapat predikat par excellence (adhiluhung), karena telah menampilkan integrated systems yang padu dan harmonis. Para Wali Songo ternyata memiliki wawasan masa depan (futuristic), karena mengajar integralisme, perennialisme, dan holistic approach sekaligus.
Bangsa Indonesia, yang berfalsafah Pancasila dan berpaham Bhineka Tunggal Ika, seyogyanya belajar dari warisan leluhurnya, sehingga menyadari bahwa agama-agama yang beraneka-ragam itu keseluruhannya merupakan mosaik ajaran TUHAN Yang Maha Esa. Wihdat ad Dyan atau Philosophia Perennis ini menggambarkan perihal tahapan proses ‘EXISTANCES’ (Onthologia). Kehadirannya berurutan diatur berpasangan complementary, yang seutuhnya merupakan bangunan Universitas AD-DINUL ALLAH. Ini terdiri daripada fakultas-fakultas ilmu kealaman (Cosmologia) yang diwakili oleh agama-agama Yahudi dan Tao (Cina), fakultas-fakultas ilmu humaniora (Anthropologia) yang diwakili oleh agama-agama Nasrani dan Hindu, fakultas-fakultas ilmu ketuhanan (Theologia) terwakili oleh agama-agama Ibrahim dan Buddha. Ibaratnya jejaring sarang laba-laba, keseluruhannya terintegrasikan saling bertauatan menjalin networks. Dinul Islam adalah muara semua agama-agama dan sekaligus penyempurna bagi seluruh agama-agama yang terdahulu (Ontologia), maka sebagai agama paling mutakhir disesuaikan dengan fitrah alami dinamika kehidupan manusia yang progresif.
WAYANG PURWO – ibarat bangunan yang terintegrasi seutuhnya, model Philosophia Perennis yang paripurna. Pondasi utamanya cosmologia warisan kepercayaan aseli Nusantara; pilarnya anthropologia yang bersumberkan agama Hindu; dan atap penutupnya theologia yang rujukannya adalah Dinul Islam. Warisan budaya adhiluhung ini tampil sebagai satu-satunya representasi Islam yang kaffah, dan merupakan pagelaran total arts ”tontonan dan tuntunan”. Mengandung pendidikan tentang ethica, aesthetica dan logica, sekaligus bermuatan paduan pelajaran tentang agama, budaya dan ilmu pengetahuan.
DINUL ISLAM - Gelombang Pertama (elementary) bangkit di jazirah Arabia, sebagai ’galur murni’ (embryo) masih tampil emotional dan exclusive (hitam-putih). Gelombang Kedua (intermidiate) bangkit di jazirah Iberia (Spanyol), sudah tampil dengan bobot rational dan mixed. Gelombang Ketiga (advance) telah terprogram bangkit di kepulauan Nusantara, maka akan tampil utuh berbobot spiritual dan inclusive. Perkembangan inipun bersesuaian dengan fitrah alamiah species manusia, baik sebagai individu (personal) ataupun masyarakat (social). Tahapan yang demikian ituternyata sebelumnya sudah diisyaratkan kian melalui allegory dalam agama Nasrani dan Al Qur'an, yaitu Maryam – Isa al-Masih – Ruhul Qudus. Paralel dengan itu, dalam agama Hindu inipun telah disampaikan melalui lambang Shinta (Emotional Quotient), Leksmana (Intelligence Quotient), dan Rama (Spiritual Quotient).
EKSPANSI ISLAM ke Barat dipelopori oleh ekspedisi militer sampai ke bibir pantai samudera Atlantik, di kawasan Maghribi ini lalu berkembang dan berhasil membangun peradaban tinggi. Dilambangkan sebagai sosok Baladewa yang bule (albino), rasional serta berwatak temperamental (Yang/Naar). Kemudian setelah peradaban Muslim ini runtuh, maka warisannya dikembangkan oleh bangsa-bangsa Eropa penganut agama Nasrani untuk membangun peradaban modern hingga penghujung Milenium Kedua. Sebaliknya, ekspansi ISLAM yang ke arah Timur hingga ke ujung kepulauan Nusantara telah dirintis melalui ekspedisi perdagangan (penetration pacific). Lambangnya Kreshna (adiknya Baladewa) yang hitam (negro), spiritual dan bersifat bijaksana (Ying/Nuur). Kebangkitan ISLAM di kawasan Masyriq ini dipersiapkan untuk merintis pembangunan pondasi Peradaban Milenium Ketiga. Power Shift – dan sejarah mutakhir membuktikan adanya pergeseran tersebut, dari military power ke arah economic power. Dan pasokan kebutuhan enerji juga akan mengalami pergeseran, dari fission nuclear energy (divergent/al-basith ) akan digantikan oleh fusion nuclear energy (convergent/al-qabidh). Dan seiring dengan itu senjata Nenggala (milik Baladewa) telah dijadwalkan akan digantikan oleh senjata Cakra (milik Kreshna). Buktinya, Industrial Military Complex (IMC) selaku primadona, kini kedudukannya sudah berangsur-angsur mulai digusur oleh Information Technology (IT). "Economy and energy are complementary!" Komunisme ternyata rapuh dan Kapitalisme pun keropos, maka peradaban masa depan seyogyanya menempuh "Jalan Tengah" (The Third Way) yang kooperatif.
PHILOSOPHIA PERENNIS yang didambakan oleh Fritjof Schuon itu ternyata sudah sejak berabad yang lampau telah diungkapkan oleh para Sufi terkemuka, seperti Ibnu Arabi dan Jalaluddin Rumi. Para Wali Songo bahkan tampil mewakili Ahlus Sunnah wal Jama’ah, simbol democratic team leadership, dan sekaligus sebagai peragaan lambang Wihdat Ad-Dyan ataupun Philosophia Perennis. Bilangan sembilan merupakan unify numeric symbolism bagi keseluruhan agama, yang tercatat berulang kali dalam berbagai Kitab Suci, dan juga telah tersirat melalui beragam logogram agama-agama. Zenith Tasawuf dan pondasi NeoSUFISM telah diajarkan oleh para Walisongo melalui aneka ”multimedia”, dan Wayang Purwo sebagai puncaknya. Ini dimaksudkan sebagai isyarat, bahwasanya Bumi Pertiwi jauh hari sudah dipersiapkan kian untuk menjadi lahan titik temu beragam agama, lambangnya bunga Melati.
AL QUR’AN apabila diperas kandungannya akan menjadi Al Asmaa’ al-Husna (QS VII Al A’raaf 180), jumlahnya seratus dikurangi satu, ataupun sembilan puluh sembilan (Hadits Nabi SAW). Dalam wayang purwo bilangan tersebut ditampilkan melalui keluarga Kurawa yang berjumlah seratus orang, terdiri dari sembilan puluh sembilan pria dan seorang wanita. Ini analog dengan kisah Nabi Daud a.s., yang diminta untuk mengadili sengketa perkara sembilan puluh sembilan ekor kambing dengan seekor kambing betina lainnya (QS 38:23). Para Wali Songo telah memanfaatkan mata-batinnya (spiritual eyes) untuk menyaksikan adanya hubungan integralistic antara agama Hindu dengan agama Nasrani dan Dinul Islam.
BILANGAN 99 – apabila kedua bilangannya dijumlahkan akan menjadi 9 + 9 = 18 (delapan belas). Ini merupakan jumlah Bab (Yoga) Kitab Suci BHAGAVAT GITA (Hindu), atau jumlah hari berlangsungnya Bharata Yudha di palagan Kurusetra.
BILANGAN 99 - kalau kedua bilangannya diperkalikan akan menjadi 9 x 9 = 81 (delapan puluh satu), sama dengan jumlah Bab (sya’ir) Kitab Suci TAO THE CHING (Agama Tao/Cina). Ini analog dengan simbol PAKUAH – Hexagram bersudut delapan, yang di dalamnya terdapat satu bulatan Tai Chi.
Derivat atau kedua hasil perhitungan tersebut di atas ternyata telah membuktikan adanya integralisme atau kesatuan agama-agama, karena masing-masing menampilkan pasangan mirror images atau dextro-levo isomerism bagi lainnya (QS 16:48).
KITAB INJIL - PERJANJIAN BARU
Markus 15
25 Penyalibannya itu terjadi pada pukul sembilan pagi.
27 Bersama-sama dengan Yesus mereka menyalibkan juga dua orang penyamun; seorang di sebelah kanan dan seorang di sebelah kirinya.
Wahyu 7
4 Dan aku mendengar jumlah mereka yang dimeteraikan itu : seratus empat puluh empat ribu, dari semua suku keturunan Israel.
5-8 Suku Bani Israel (12): masing-masing duabelas ribu orang.
Q.S. 69 Al HAQQAH 17 (delapan malaikat menjunjung ’Arsy) – bilangan delapan dan satu tersebut merupakan simbol daripada unsur-unsur manusia seutuhnya, atau komposisi keseluruhan alam semesta raya (Big Bang theory/proses inflasi). Ini juga tersiratkan melalui logo-logo Pakuah (TAO), Mandala (HINDU), Swastika (BUDDHA), Ka’bah atau Bulan Bintang (ISLAM), Salib (NASRANI), dan Bintang Daud (YAHUDI). Dalam tradisi Batak telah terwakili oleh lambang Bindu Matogu. Di Indonesia juga ditampilkan berupa aneka simbol organik melalui para Wali Songo (9) dan sembilan orang penari Bedoyo Ketawang (Keraton Solo), yang anorganik melalui Candi Gedong Songo (Jawa Tengah) dan Gordang Sambilan (Tapanuli). Agama-agama ataupun wayang purwo bermuatan pelajaran tentang symbolism dan futurism. Pentingnya peran symbol analyst dan futurist telah ditampilkan melalui kemampuan Nabi Yusuf a.s. sebagai model, yang pada masa lampau telah dimanfaatkan oleh Fir’aun.
Manusia adalah homo symbolicum, di situlah letak kekuatan dan juga kelemahannya (Immanuel Kant). Kini mereka sedang digiring menuju ke Era Super-symbolic Economy (Alvin Toffler). Alam dan kehidupan manusia teleological programmed, diciptakan secara bertahapan sistematis, dengan pola geometris yang teratur dan berstruktur matematis yang terukur, serta terarah bertujuan dan sarat makna. Kesatuan agama-agama dan pesan-pesannya yang terangkum melalui wayang purwo itu akan lebih mudah terpahami oleh mereka yang mengenal numeric symbolism serta paham Pythagorean hermeneutics, sehingga kehadiran TUHAN Yang Maha Esa tidak diragukan, dan Wihdat ad Dyan atau Philosophia Perennis menjadi semakin jelas bagi mereka. Filsafat Pancasila telah dipersiapkan sebagai "belanga", yang ditopang oleh "tigo tungku sajarangan, tigo tali sapilin" (Melayu/Minangkabau) atau "Dalihan na Tolu" (Batak).
Jumlah manusia semakin membengkak dan tuntutannya pun semakin menggelembung, sedangkan sumber alam semakin langka dan lingkungan bertambah kumuh oleh beragam pencemaran. Bayangan kelam ini sudah diisyaratkan melalui Al Qur’an, di samping itu juga diperingatkan bahwa “manusia diuji dengan harta dan anak” (QS 63:9/64:15). Dengan gambaran semacam ini terbayanglah di hadapan kita petaka peledakan berbagai permasalahan yang amat dahsyat, dan bentuknya semakin rumit serta tingkat penanggulangannya bertambah muskil dan geraknya dinamis. Apabila tak terkendalikan, maka ungkapan filsuf Thomas Hobes yang mengerikan itu akan menjadi kenyataan – Homo homini lupus!
Namun, di balik krisis lingkungan yang seiring dengan krisis peradaban global itu, terlihatlah semakin nyata adanya gejala kebangkitan agama-agama (Alvin Toffler), yang paralel dengan kebangkitan spiritualisme (John Naisbitt). Ini pun sudah cukup diyakini sebagai tanda-tanda awal daripada proses transformasi menuju Kebangkitan Peradaban Mondial Milenium Ketiga, yang telah diisyaratkan melalui Al Qur’an sebagai prophecy atau nubuat Kebangkitan Isa al-Masih (QS 3:55/19:33). Ini analog dengan pagelaran wayang purwo ‘Kresno Gugah’ atau ‘Wahyu Cakraningrat’. Aneh, fenomena alamiah ini bersifat paradox tapi complementary sekaligus, yang terdorong tampil ke permukaan karena survival instinct manusia. Naluri alami yang muncul dari bawah sadar manusia ini, merupakan peringatan dini antisipasi menyongsong kehadiran apocalyptic threat mendatang – yang kini telah menjadi kenyataan.
Di berbagai penjuru bumi juga muncul pergeseran kepemimpinan, semakin banyak wanita tampil menjadi Pemimpin Negara atau Kepala Pemerintahan, kecenderungan ini muncul baik di Barat maupun di Timur. Di Barat benteng kepemimpinan masculine Jerman, warisan tradisi militer Prusia, juga telah runtuh digusur oleh Angela Merkel. Di Timur telah terbit “Matahari Kembar”, Megawati Soekarnoputri dan Gloria Macapagal Arroyo, yang menggeser presiden-presiden pria terpilih. Kenyataan alami semacam ini, apakah merupakan perlambang Kebangkitan Bunda Maryam, yang merintis Kebangkitan Isa al-Masih di atas? Dalam kisah Bharata Yudha, Pendawa dipandu oleh Kreshna, namun juga tampil seorang wanita sebagai Senapati, yaitu Srikandi yang diunggulkan menandingi Resi Bhisma, seorang pandita sakti yang disegani. POWER SHIFT – soft power plus flexy leadership akan menggusur hard power plus tough leadership.
John Houge mengungkapkan: “I contend that we all suffer from prophet’s block. Most of us have been programmed to act like ostriches, to hide our heads from premonition of change. A premonition of apocalypse – whether personal or global – may be a blessing in disguise. We can use precognition as an alarm to wake up in time and steer our destiny out of harm’s way.” (The Millenium Book of Prophecy, 1994).
John Naisbitt dan Patricia Aburden menulis buku ”Megatrends 2000” (1990), kemudian disusul dengan buku ”Megatrends 2010”. Namun ribuan tahun sebelumnya ALLAH Rabbul ’Alamin telah menurunkan Kitab ”Megatrends ad Infinitum” secara berkesinambungan (QS 10:61). Dan di samping itu juga diiringi dengan tambahannya, ternyata Wayang Purwo warisan Wali Songo itu merupakan complement utamanya, dan sejarah Nusantara sebagai suplement pelengkapnya (QS 20:114). Terbukti, di dalam aneka fenomena yang digelar kini, sudah terekam berbagai informasi peristiwa masa lampau (past history), dan sekaligus telah terprogram data masa depannya (future history). Sehubungan dengan itu kini tibalah saatnya umat manusia mana pun untuk memanfaatkan T.I. (Transcendental Information) atau Prophetic Intelligence di samping I.T. (Information Technology).
Sehubungan dengan itu ungkapan Adrian M. MacDonough berikut ini layak disimak dan diamalkan. ”The problem facing management today is not what action should be taken to meet present conditions, for those actions should have been taken yesterday; rather the problem is what action must they take today to meet future conditions and to insure corporate survival.” (Information Management, 1983).
Bangsa Indonesia semestinya menyadari bahwa sesungguhnya Wayang Purwo itupun merupakan medium ‘pendidikan luhur’ (advance education), sarana up-grading sumber daya manusia yang berspektrum luas dan luwes. Ini sudah dipersiapkan untuk mengang-kat harkat serta martabat bangsa Indonesia, yang sekaligus akan menjadi pondasi Peradaban Milenium. Menyongsong “cultural warfare” di masa depan, maka warisan budaya adhiluhung ini seyogyanya benar-benar dijaga mutunya, dilestarikan pula pamor intelektualnya, dan dikembangkan wawasannya. Selanjutnya dipromosikan ke segala penjuru bumi, supaya kelak menjadi rahmat untuk seluruh alam dan berkah bagi segenap umat. Insya ALLAH!